MAKALAH ALQURAN MENURUT MUKTAJILAH DAN AHLU SUNAH WALJAMAAH
MAKALAH
ALQURAN
MENURUT MUKTAJILAH DAN AHLU SUNAH WALJAMAAH
DI SUSUN OLEH :
Bismi Akbar Al Amin
UNIT
: 3
SEMESTER
: I
IAIN ZAWIYAH COT KALA LANGSA
JURUSAN PERBANKAN SYARIAH
TAHUN 2015-2016
KATA
PENGANTAR
Puji
dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena erkat
limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini membahas “Alquran Menurut Muktajilah dan Ahlu
Sunah Waljamaah”.
Dalam penyusunan
makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan
bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang
setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun
materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga
makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Langsa, Januari
2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar
Belakang............................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 2
A.
Pengertian Al-Quran ....................................................................... 2
B. Al
qur’an menurut muktajilah.......................................................... 3
BAB III PENUTUP .................................................................................. 6
Kesimpulan
..................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 7
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-Quran adalah firman atau wahyu yang
berasal dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dengan perantara melalui
malaikat jibril sebagai pedoman serta petunjuk seluruh umat manusia semua masa,
bangsa dan lokasi. Alquran adalah kitab Allah SWT yang terakhir setelah kitab
taurat, zabur dan injil yang diturunkan melalui para rasul.Syaikh Abu Utsman
berkata :”Ashhabul Hadits bersaksi dan berkeyakinan bahwa Al-Qur’an adalah
kalamullah (ucapan Allah), Kitab-Nya dan wahyu yang diturunkan, bukan makhluk.
Barangsiapa yang menyatakan dan berkeyakinan bahwa ia makhluk maka kafir
menurut pandangan mereka.
Al-Qur’an tidak hanya sebagai penyelamat di akherat tetapi
juga selamat di dunia. Meyakini Al-Qur’an sebagai kitab yang berisi wahyu Allah
SWT merupakan kewajiban yang termaktub dalam rukum Iman. Saat ini, banyak
terjadi saudara-saudara kita yang mengaku Islam tetapi 'jauh' dari Al-Qur’an.
Entah karena sibuk dengan dunia,
tidak peduli atau bahkan ada perasaan takut untuk berakrab-akrab dengan
Al-Qur’an. Takut begitu banyak aturan yang harus difahami dan dilaksanakan,
padahal itu hanyalah ketakutan semu yang dihembus-hembuskan setan yang sedang
berburu teman di neraka.
BAB
II
PEMBAHASAN
C. Pengertian Al-Quran
Al-Quran adalah kitab suci bagi umat
islam. Selain kitab seci, al-Quran juga merupakan sumber hukum utama dalam
ajaran agama islam. Al –Quran berisi tentang wahyu-wahyu allah swt yang
diturunkan pedada nabi Muhammad saw lewat perantaraan malaikat jibril.
Al-Quran memiliki kedudukan yang
sangat tinggi bagi penganut agama islam, sehingga umat islam akan sangat marah
apabila ada orang atau pihak yang mencoba melecehkan alQuran. Lalu, bagaimana
pengertian al-Quran itu sendiri…? Disini, akan saya bahas pengertian al-Quran
menurut bahasa dan sitilah. Dengan adanya kedua pengertian tersebut (bahasa dan
istilah) diharapkan memberikan informasi yang baik bagi anda sebagai pembaca.
Secara bahasa (etimologi), al-Quran
berasal dari bahasa arab yaitu qur’an, dimana kata “qur’an” sendiri merupakan
akar kata dari قرأ – يقرأ – قرآنا . Kata قرآنا secara bahasa berarti bacaan
karena seluruh isi dalam al-Quran adalah ayat-ayat firman allah dalam bentuk
bacaan yang berbahasa arab. Sedangkan pengertian al-Quran menurut istilah
(terminologi) ialah firman Allah yang berbentuk mukjizat, diturunkan kepada
nabi terakhir, melalui malaikat jibril yang tertulis dalam di dalam mushahif,
yang diriwayatkan kepada kita dengan mutawatir, merupakan ibadah bila
membacanya, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.
Definisi atau pengertian al-Quran
menurut bahasa dan istilah di atas merupakan kata sepakat antara ulama dan para
ahli ushul. Al-Quran diturunkan oleh allah swt sebagai tata aturan bagi
kehidupan semua bangsa, petunjuk yang benar untuk semua makhluk, tanda bukti
atas kebenaran rasulullah Muhammad saw, dalil yang qot’ie atas kenabian dan
risalahnya. Dan sebagai hujjah yang tetap tegak hingga hari kemudian.
Sebenarnya pengertian al-Quran itu
sendiri sangat luas, ia tidak hanya terpaku pada satu pengertian, masih banyak
pengertian lain tentang al-Quran menurut para ahli, namun yang paling mendekati
dan sesuai dengan para ahli adalah pengertian seperti yang sudah disebutkan
tadi. Demikian sekilas tentang pengertian al-Quran
menurut bahasa dan istilah,
semoga memberikan manfaat bagi pembaca sekalian.
D. Al
qur’an menurut muktajilah
Kelompok Mu’tazilah melihat
al-Qur’an sebagai suatu perkataan yang terdiri dari huruf dan suara, artinya
disamakan dengan perkataan yang biasa dikenal. Perkataan menyatakan fikiran
yang ada pada dirinya, supaya diketahui orang lain. Kalau al-Qur’an terdiri
dari kata-kata, sedang kata-kata itu baru, maka al-Qur’an itu pun baru. Selain
itu sifat kalam al-Qur’an bukanlah sifat zat, tetapi adalah salah satu sifat
perbuatan. Karena itu al-Qur’an adalah makhluk. Artinya Tuhan mengadakan
perkataan (kalam) pada Lauh Mahfuz, atau Jibril atau utusan-Nya.
Dalam internal Mu’tazilah sendiri
juga terdapat silang pendapat dalam mendefiisikan makna al-Kalam apakah ia jism,
ardh ataukah makhluq, mereka terbagi menjadi tiga pendapat:
- Sebagian mereka mengatakan bahwa kalamullah adalah jism saja
- Pendapat al-Nadham dan pengikutnya; mereka berpendapat bahwa kalam makhluk adalah ardh, dan bergerak, karena tidak sesuatu yang ardh kecuali pasti bergerak, sedangkan kalam khaliq adalah jism, karerna jism itu terdiri dari huruf dan suara yang bisa didengar, termasuk fi’il dan mahkluq Allah I, sedangkan yang dilakukan manusia adalah membaca (al-Qira’ah) dan membaca adalah bergerak dan tidak termasuk dalam al-Quran.
- Pendapat Abu al-Huzail, Ja’far bin Harb, al-Askafi dan pengikutnya, mereka mengatakan bahwa kalam adalah ardh dan makhluq.
Dari penjelasan di atas dapat
ditarik satu kesimpulan bahwa Mu’tazilah berselisih pendapat apakah kalam itu
ardh atau jism? Hanya saja mereka bersepakat bahwa kalam itu adalah makhluq.
Dan untuk membenarkan keyakinan khalq
al-Quran, Mu’tazilah menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang mendukung
pemahaman mereka bahwa al-Quran itu bukan kalamullah dalam pengertinnya
yang azali, seperti firman Allah I Qs. Al-Baqarah: 30.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang
khalifah di muka bumi.”
Menurut mereka pengertian ‘idz’
(ketika) di dalam firman itu menunjukkan suatu waktu, yaitu waktu masa silam.
Maka firman Allah I tersebut telah terjadi pada suatu waktu tertentu. Setiap
sesuatu yang terikat kepada waktu adalah suatu ‘kebaruan’. maka maksud firman
Allah I itu bukan bersifat azali dari Allah I, yakni al-Kalam, tetapi
maknanya harus diartikan dengan pengertian yang lain.
Dan juga firman Allah I Qs. Hud: 1
dan al-Taubah: 6 yang menunjukkan bahwa al-Quran itu tersusun dari ayat-ayat
dan huruf-huruf yang bisa didengar, hal tersebut menunjukkan “kebaruan” karena
mau tidak mau susunan ayat-ayat dan sesuatu yang bisa didengar adalah suatu
yang baru.
Abu al-Hudhail al-‘Allaf; salah
seorang pemikir dari Mu’tazilah yang lahir dan belajar Bashrah kemudian pindah
ke Baghdad, berpendapat bahwa Allah swt menciptakan al-Quran di lauh
al-Mahfudz yang masih berbentuk ‘ardh. Kemudian dinampakkan melalui
tiga tempat; di tempat ia dijaga, di tempat dia ditulis dan di tempat dia
dibaca dan didengar. Pendapat ini diperkuat oleh khalifah al-Makmun dengan
menafsirkan surat al-Buruj: 21-22:
بَلْ هُوَ قُرْآَنٌ مَجِيدٌ (21) فِي
لَوْحٍ مَحْفُوظٍ (22)
Artinya:
“Bahkan dia adalah al-Quran yang
mulia, yang tersimpan di Lauh al-Mahfudz”.
Bahwa sesungguhnya perkataan Lauh
yang melindungi al-Quran mengandung pengertian “khalq” (temporal), sebab
suatu benda tidaklah dilindungi kecuali dengan sesuatu yang diciptakan.
Lebih lanjut al-Qadhi Abd al-Jabbar,
termasuk pentolan Mu’tazilah di abad akhir-akhir mengatakan bahwa kalam adalah
bagian dari perbuatan (af’al) Allah I yang Dia ciptakan dalam jism
ketika hendak mengadakan kontak dengan makhluk-Nya, baik berupa perintah,
larangan, janji maupun ancaman. Maka setiap perbuatan Allah I tidak boleh
dikatakan qadim, sebagaimana tidak boleh mengklaim bahwa segala ni’mat
dan ihsan Allah I yang senantiasa diberikan kepada hamba-hamban-Nya adalah qadim.
Dengan demikian al-Quran yang merupakan kalamullah otomatis adalah
makhluk, karena dia merupakan bagian dari perbuatan-Nya yang selalu dilakukan
sesuai dengan maslahat dan kebutuhan.
Kata al-Qadhi Abd al-Jabbar,
“Jikalau dalam al-Quran terdapat perintah dan larangan serta janji dan ancaman,
maka sesungguhnya kedudukan perintah itu sendiri senantiasa memerlukan objek
yang diperintah. Sebagai contoh, ayat tentang perintah shalat, tidak mungkin
sudah ada semenjak azali, sebelum diciptakan manusia, suatu perintah ditujukan
kepada sesuatu yang tidak ada, maka dengan demikian perintah Allah I bukanlah
hal yang qadim.
Al-Qadhi Abd al-Jabbar berkata
ketika berbicara masalah pendapat-pendapat manusia tentang al-Quran: “Adapun
mazhab kami, bahwa al-Quran adalah kalamullah dan wahyu-Nya, dan ia
adalah makhluq dan muhdats (baru)”.
Ibnu Matwih mengatakan: “Guru-guru
kami telah bersepakat semua bahwa al-Quran adalah makhluq” dan al-Muqbili
berkata ketika menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah al-Kalam:
“Para filosof meneliti kaifiyah kalam lalu mereka berselisih pendapat sedangkan
Mu’tazilah telah menetapkan secara mutlak tentang kemakhlukan al-Quran”.
Dari penjelasan di atas dapat kita
simpulkan tentang aqidah Mu’tazilah tentang al-Quran yaitu al-Quran adalah
makhluq.
BAB II
PENUTUP
Simpulan
Setelah
dibahas dalam bab sebelumnya akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Al-Qur’an berasal dari
bahasa qara’a-yaqrau yang berarti bacaan, menghimpun, dan mengumpulkan.
Sedangkan arti secara istilah adalah firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad dengan melalui malaikat jibril dan yang membacanya sesuai ketentuan
yang berlaku adalah bernilai ibadah. Ada beberapa perbedaan cara ulama didalam
mengartikan Al-Quran itu sendiri, namun perbedaan-perbedaan itu sifatnya tidak
terlalu signifikan dan tidak merubah akan keaslian Al-Quran tersebut.
Mempercayai akan adanya Al-Qur’an yang sangat komlpleks dan bersastra tinggi
ini adalah suatu kewajiban yang tidak bias ditawar-tawar lagi bagi setiap
muslim, baik laki-laki maupun permpuan yang sudah balig. Karena pada hakikatnya
hal demikian adalah bentuk aplikasi keimanan dan keislaman dari seorang muslim
yang haqiqi. Sehingga
janganlah mengaku islam jika masi.
DAFTAR PUSTAKA
Awwad bin
Abdullah al-Mu’tiq, Al-Mu’tazilah wa Ushuluhum al-Khamsah wa Mauqif Ahlu
al-Sunnah minha, hal. 118
Kritikan Imam Abu Hasan al-Ash’ari[6]
BalasHapusImam al-Ash’ari menyatakan: “Jikalau al-Quran itu makhluk (diciptakan), pasti tidak lepas dari tiga hal. Pertama, Allah I menciptakan al-Quran dalam diri-Nya. Kedua, Allah I menciptakannya secara berdiri-sendiri. Ketiga, Allah I menciptakannya di luar diri-Nya.
Yang petama tidak bisa diterima oleh akal. Allah I tidak mungkin menciptakan al-Quran dalam diri-Nya, sebab diri-Nya bukanlah tempat untuk al-hawadits (hal-hal yang bersifat temporal). Yang kedua juga mustahil. Al-Quran tidak mungkin diciptakan secara berdiri-sendiri (independen), sebab al-Quran adalah kalamullah, dan kalam adalah sifat yang keberadaannya tidak mungkin berdiri-sendiri.
Yang ketiga juga tidak mungkin. Bahwa al-Quran diciptakan di luar diri-Nya. Jika begitu, berarti Allah I menciptakan al-Quran dalam sebuah organ atau benda lain di luar diri-Nya. Jika al-Quran itu berbentuk perintah, berarti berarti organ tersebut bersifat memerintah, dan bila berbentuk ancaman maka dia juga bersifat mengancam. Demikian seterusnya. Maka sangat mustahil bila Allah I hanya dapat berfirman, memerintah atau memberikan janji dan ancaman melalui perantara sebuah benda yang diciptakan di luar diri-Nya, yang dengan benda itu Allah I baru bisa berfirman atau memerintah.[7]
Sumber
https://ahmadbinhanbal.wordpress.com/2010/11/24/kritikan-ahlu-al-sunnah-terhadap-konsep-khalq-al-quran-mu%E2%80%99tazilah