AL-QUR’AN AL BAQARAH AYAT 282”.



KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena erkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini membahas AL-QUR’AN AL BAQARAH AYAT 282”.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu bisa teratasi. Olehnya itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, semoga bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita sekalian.
Langsa,   Januari 2016

Penulis



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................            i
DAFTAR ISI ..............................................................................................           ii
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................           1
A. Latar Belakang..............................................................................           1
B.     Tujuan Masalah.............................................................................          2
C.     Tujuan penulisan............................................................................          2

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................           3
1.    Ayat Al Baqarah Ayat 282 ...........................................................          3
2.    Tafsi Mufradat Al Baqarah Ayat 282 ............................................          4
3.    Kandungan hukum ekonomi Al Baqarah Ayat 282 ........................          7
4.    Asbubunnuzul Al Baqarah Ayat 282 .............................................          11
5.    Inplementasi ekonomi Al Baqarah Ayat 282 ..................................          11

BAB III PENUTUP ....................................................................................         12
A.     Kesimpulan .................................................................................         12
B.     Saran...........................................................................................         12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................         13



 BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Masalah Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmi-ilmu ke Islaman , tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini. Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir. Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri.
Al quran merupakan petunjuk yang dimaksudkan untuk menuntun umat manusia, didalam Al quran terdapat perintah, larangan, serta anjuran, diantara anjuran tersebut adalah melakukan pencatatan terhadap transaksi yang dilakukan, dalam al quran anjuran mengenai pencatatan tersebut terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282, mengetahui tentang pencatatan yang dianjurkan penting agar kita mengetahui ketentuan islam mengenai ketentuan dan persyaratan-persyaratan dalam pencatatan tersebut. 
Dalam sejarah pencatatan (Akuntansi) konvensional Lucas Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi modren, namun demikian sebelum Pacioli dikenal sebagai penemu akuntansi. Namun demikian pada tahun 622 M terbukti sebagai beberapa sistem pencatatan perdagangan telah berkembang di Madinah, dan pada zaman pemerintahan Abbasiyah 750 M telah dikembangkan lebih sempurna diantaranya Al Jaridah Annafakat (Jurnal Pengeluaran atau Expenditure Journal), Jaridah al-Mal(Jurnal penerimaan dana untuk Baitul Mal) dan lain-lain. Kalau kita kaji sejarah khususnya sejarah khususnya sejarah islam, sebenarnya pada awal pertumbuhannya mestinya sudah ada sistem akuntansi. Hal ini dapat kita tanya dari adanya kegiatan kafilah atau pedagang. 
Menurut sejarahnya, kegiatan perdagangan ini pun sudah ada pemisahan antara pemilik dengan pedagang (manajer) seperti kisah Muhammad (sebagai pedagang, agen) dengan Khadijah (sebagai pemilik). Kemudian, keberadaan ini dapat juga dilihat dari adanya perintah dalam Al quran yang terdapat dalam surat Al baqarah ayat 282 yang mewajibkan dibuatnya pencatatan transaksi-transaksi yang belum tuntas seperti adanya utang piutang. Sayangnya literatur belum banyak menganalisa bagaimana bentuk eksistensi akuntansi pada zaman ini(lebih kurang 570 Masehi). Dalam literatur akuntansi, ternyata yang jadi asal mula akuntansi selalu disebut di Eropa. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai ketentuan Al quran dalam melakukan pencatatan dan ketentuan-ketentuan mengenai pencatat, dan saksi dalam pencatatan.

B.     Tujuan Masalah
  1.   Bagaimana Ayat Al Baqarah Ayat 282 ?
  2. Bagaimana Tafsi Mufradat Al Baqarah Ayat 282 ?
  3. Bagaimana Kandungan hukum ekonomi Al Baqarah Ayat 282 ?
  4. Bagaimana Asbubunnuzul Al Baqarah Ayat 282 ?
  5. .  Bagaimana Inplementasi ekonomi Al Baqarah Ayat 282 ?

C.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui Ayat Al Baqarah Ayat 282
2.      Mengetahui Tafsi Mufradat Al Baqarah Ayat 282
3.      Mengetahui Kandungan hukum ekonomi Al Baqarah Ayat 282
4.      Mengetahui Asbubunnuzul Al Baqarah Ayat 282
5.      Mengetahui Inplementasi ekonomi Al Baqarah Ayat 282


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Ayat al baqarah
http://c00022506.cdn1.cloudfiles.rackspacecloud.com/2_282.png
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang-piutang (ber-muamalah tidak secara tunai) untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.(q.s al-baqarah ayat 282).[1]
B.     Tafsir Mufradat Ayat Al Baqarah ayat 282
1.      Kata إِذَا تَدَايَنتُمْ berarti “apabila kalian melakukan utang piutang”. Melakukan hutang piutang termasuk salah satu kegian bermuamalah. Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Allah memerintahkan kita, para mukmin agar setiap mengadakan perjanjian utang piutang dilengkapi dengan perjanjian tertulis serta wajib menyebutkan tempo dalam seluruh hutang-piutang dan pelunasan penyewaan, karena apabila tempo itu tidak diketahui maka itu tidak dibolehkan karena itu sangat rentan dengan tipu daya dan berbahaya, maka hal itu termasuk perjudian.
2.      Kata فَٱكْتُبُوهُ berarti "maka hendaklah kamu menuliskannya”. Kata “menuliskan” disini berarti menuliskan atau membuat surat perjanjian dalam suatu transaksi. Surat perjanjian utang piutang adalah suatu perintah yang difardukan dengan nash, tidak diserahkan sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Jumhur ulama berpendapat bahwa perintah menulis surat perjanjian utang piutang adalah nadab (imbauan) dan irsyad (sunnah). Atha’, asy-sya’bi, dan Ibn Jarir berpendapat perintah disini berupa perintah yang wajib sesuai dengan hukum asal perintah yang dipegang jumhur[2]. Penulisan transaksi tersebut mestinya di lakukan oleh seorang juru tulis yang disebut katib. Sebagai pemenuhan sikap hati-hati supaya mendekati kebenaran atau keadilan maka katib bisa didatangkan sebagai pihak ketiga. Harapannya tidak mempunyai kepentingan atas transaksi sehingga bisa menuliskan secara proposional. Saksi harus orang yang dapat bersikap adil dan tidak memihak pada pihak manapun, harapannya agar tidak merugikan salah satu pihak. Selain harus adil, penulis surat perjanjian juga di syaratkan mengetahui hukum-hukum yang bersangkut paut dengan pembuatan surat utang, karena surat utang tidak menjadi jaminan yang kuat, kecuali penulisannya mengetahui hukum-hukum syara’ yang diperlukan, baik uruf ataupun menurut undang-undang. Inilah maknanya “penulis harus menulis seperti yang ajarkan allah”.
3.      Kata وَلْيُمْلِلِ berarti “dan hendaklah membacakan”. Secara praktik, orang yang berhutang hendaklah membacakan kepada katib mengenai utang yang diakuinya meliputi berapa besarnya, apa syaratnya dan jatuh temponya. Kenapa yang membacakan mesti orang yang berutang ?. Karena dikhawatirkan apabila yang mendiktikan/membacakan orang yang memberi utang, maka akan terjadi ketidakadilan karena orang yang berutang pada posisi yang lemah. Seperti menghindari terjadinya penambahan nilau utang, memperpendek jatuh tempo atau memberikan syarat-syarat yang hanya menguntungkan orang yang memberi utang[4]. Dengan membacakan sendiri hutangnya didepan penulis, maka tidak ada alasan bagi yang berhutang untuk mengingkari isi perjanjian. Sambil mengimlakkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berhutang agar hendaklah dia bertakwa kepada Allah Tuhannya. Kemudian ayat selanjutnya adalah menyatakan nasihat, janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran dan lain-lain, yang dicakup kesepakatan bersama.
4.      Kata سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْلاَ يَسْتَطِيعُ berarti “lemah akal atau lemah (keadaan) atau tidak mampu”. Maknanya adalah jika yang berhutang itu orang yang lemah akal, anak yang belum cukup umur, sudah sangat tua atau tidak sanggup membacakan karena tunarungu atau tunawicara, hendaklah dibacakan oleh orang yang menangani urusannya. Hendaklah dia berlaku adil dan berhati-hati dalam membacakan.
5.      Kata شَهِيدَيْنِ berarti "dua orang saksi". Dalam suatu pencatatan mengenai utang piutang, maka minimal di datangkan dua orang saksi yang disetujui kesaksiannya berdasarkan agama dan keadilannya. Ayat ini menekankan bahwa dua saksi itu adalah laki-laki. Al-Imam Ibn Qayyin dalam I’lamul Muwaqqi’in ‘bayyinah dalam pandangan syara’ lebih umum daripada kesaksian. Maka, tiap apa yang bisa dipergunakan untuk membenarkan suatu keterangan dinamakan bayyinah seperti bukti yang tidak bisa dibantah. Karena itu, mungkin orang yang bukan Islam dapat menjadi saksi berdasarkan makna yang diterangkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan lughah yaitu apabila hakim bisa mempercayainya dalam menentukan hak (kebenaran).
6.      Kata وَامْرَأَتَانِ مِمَّن berarti “dua orang perempuan”. Apabila tidak ada dua orang laki-laki yang bisa bertindak sebagai saksi, maka bolehlah seorang laki-laki dan dua orang permpuan. Karena di khawatirkan salah seorang perempuan yang menjadi saksi lupa akibat kurang memperhatikan terhadap hal-hal yang disaksikan, maka dia dapat diingatkan oleh orang yang satunya. Allah menyamakan satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. Karna itulah allah menyerahkan masalah kesaksian ini kepada kerelaan (kesepakatan) dari pihak-pihak yang membuat surat perjanjian.
7.      Kata تَرْضَوْنَ berarti “kamu ridhoi”. Setalah dihadirkannya saksi, selanjutnya pemilihan saksi harus di sepakati sehingga saksi tersebut diridhoi, dan penentuan jumlah yang lebih dari satu sebagai pertimbangan untuk saling mengingatkan ketika ada yang lupa atas persaksia transaksi yang telah dilakukan. Saksi tidak boleh enggan dalam memberi keterangan apabila mereka di panggil. Bagi seorang saksi, akan diridhoi apabila suatu ketika harus dimintai keterangan atas persaksian apabila terjadi sengketa antara pihak yang berkepentingan.
8.      Kata وَلاَ تَسْئَمُوا berarti “dan janganlah kalian jemu/bosan”. Allah mengisyaratkan kepada umat muslim agar tidak jemu menulis utang itu, karena penulisan atau pencatatan dalam suatu transaksi utang piutang sangat penting agar tidak terjadi kesalah pahaman pada saat jatuh tempo pembayaran.
9.      Kata صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا berarti “baik utang itu kecil atau besar”. Firman ini menjadi dalil bahwa surat keterangan (perjanjian) sebagai bukti yang sah jika syarat-syaratnya cukup, baik utang itu kecil atau besar dan kita tidak boleh sembarangan masalah harta. Inilah suatu dasar dari dasar-dasar ekonomi pada masa kini yaitu “tiap-tipa muamalat (mengadakan transaksi) dan tiap-tipa muawadhah (perjanjian) harta haruslah dibuat surat keterangan tertentu dan pengadilan memandangnya sebagai bukti. Kita tidak boleh malas mencatatkan nominal utang piutang tersebut, baik itu nominal kecil atau pun besar.
10.  Kata أَقْسَطُ berarti "lebih adil". Maksud adil disini adalah dalam penulisan suatu utang piutang baik kecil maupun besar sampai batas waktu pembayarannya lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan. Biasanya kebanyakan orang merasa malas dan jemu menuliskan transaksi utang piutang dan mendatangkan saksi karena alasan merepotkan dan sudah saling mengenal. Pada prinsipnya Allah telah mengajarkan tahapan tersebut sebagai prinsip keadilan. Bagaimana mungkin norma keadilan bisa terungkap apabila pihak yang bertransaksi tidak mempunyai bukti apapun. Tidak adanya penulisan yang yang mengikat hanya boleh dilakukan pada transaksi tunai.
11.  Kata فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ berarti “maka tidak ada atas kalian dosa”. Hal ini dapat dipahami bahwa apabila kita melakukan suatu transaksi tunai maka tidak ada dosa apabila tidak menulisnya atau mencatatnya dalam suatu surat perjanjian. Namun apabila kita melakukan transaksi utang piutang maka harus di tulis agar tidak terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan perselisihan dan berbuah dosa.[2]
C.     Kandungan Hukum ekonomi dalam ayat
Menyusuli ayat-ayat sebelumnya mengenai hukum-hukum ekonomi Islam yang dimulai dengan memacu masyarakat supaya berinfak dan memberikan pinjaman dan dilanjutkan dengan mengharamkan riba, ayat ini menjelaskan cara yang benar bertransaksi supaya transaksi masyarakat terjauhkan dari kesalahan dan kedzaliman dan kedua pihak tidak merugi. Ayat ini dikenal dengan nama Ayat al Mudayanah (ayat utang piutang). Ayat ini ditempatkan setelah uraian tentang anjuran bersedekah dan berinfak (ayat 271-274), kemudian disusul dengan larangan melakukan transaksi riba(ayat 275-279), serta anjuran memberi tangguh kepada yang tidak mampu membayar utangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau semua utang itu(ayat 280). Penempatan uraian tentang anjuran atau kewajiban menulis utang piutang setelah anjuran dan larangan diatas mengandung makna tersendiri. anjuran bersedekah dan melakukan infak di jalan Allah perupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati, sehingga dengan perintah menulis utang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta, tercermin keadilan yang didambakan al-Quran sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh pelaku riba. Larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah dapat menimbulkan kesan bahwa al-quran tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Kesan keliru itu dihapus melalui ayat ini yang intinya memerintahkan untuk memelihara harta dengan menulis utang piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya. 
Seandainya kesan itu benar tentulah tidak akan ada tuntutan yang sedemikian terperinci menyangkut pemeliharaan dan penulisan utang-piutang. Ayat 282 ini dimulai seruan Allah swt, kepada kaum yang menyatakan beriman, Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Perintah ayat ini secara redaksional ditujukan kepada orang-orang beriman tetapi yang dimaksud adalah mereka yang melakukan transaksi utang-piutang, bahkan secara lebih khusus adalah yang berutang. Ini agar yang memberi piutang merasa tenang dengan penulisan itu. Karena, menulisnya adalah perintah atau tuntunan yang sangat dianjurkan, walau kreditor tidak memintannya. Kata (اينتم تد) tadayantum, yang diatas diterjemahkan dengan bermuamalah, terambil dari kata (دين) dain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh huruf-huruf kata dain itu (yakni dal, ya’ dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna utang, pembalasan, ketaatan, dan agama. 
Kesemuannya menggambarkan hubungan timbal balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni utang-piutang. Penggalan ayat-ayat ini menasehati setiap orang yang melakukan transaksi utang-piutang dengan dua nasihat pokok. Pertama, dikandung oleh pernyataan untuk waktu yang ditentukan. Ini bukan saja mengisyaratkan bahwa ketika berutang masa pelunasannya harus ditentukan. Bukan dengan berkata “saya bayar hutangnya ketika saya memperoleh rezeki”, atau kalimat lain yang serupa yang mengisyaratkan keadaan yang tidak pasti. Tuntunan agama melahirkan ketenangan bagi pemeluknya, sekaligus harga diri, karena itu, agama tidak menganjurkan seseorang berutang kecuali jika sangat terpaksa. “utang adalah kehinaan di siang dan keresahan di malam hari”. Demikian sabda Rasul saw. Seorang yang tidak resah karena memiliki utang atau tidak merasa risih karenanya. “penangguhan pembayaran utang oleh yang mampu adalah penganiayaan” (HR. Bukhari dan Muslim). Perintah menulis utang-piutang dipahami oleh banyak ulama sebagai anjuran, bukan kewajiban. 
 Demikian praktik para sahabat Nabi ketika itu, demikian juga yang terbaca pada ayat berikut. Memang, sulit perintah itu diterapkan oleh kaum muslimin ketika turunnya ayat ini jika perintah menulis utang-piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka.namun demikian, ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis-menulis karena dalam hidup ini setiap orang dapat mengalami kebutuhan pinjaman dan meminjamkan. Itu diisyaratkan oleh penggunaan kata (اذا) idza/apabila pada awal penggalan ayat ini, yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastian akan terjadinya sesuatu. Perintah menulis dapat mencakup perintah kepada kedua orang yang bertransaksi, dalam arti salah seorang menulis, dan apa yang ditulisya diserahkan kepada mitranya, jika mitra pandai tulis baca, dan bila tidak pandai, atau keduanya tidak pandai, mereka hndaknya mencari orang ketiga sebagaimana bunyi lanjutan ayat. Selanjutnya, Allah swt. Menegaskan: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Tidak menyalahi ketentuan Allah dan perundangan yang berlaku dalam masyarakat. Tidak merugikan salah satu pihak, dengan demikian dibutuhkan tiga kriteria bagi penulis, yaitu kemampuan menulis, pengetahuan tentang aturan serta tata cara menulis perjanjian, dan kejujuran. Yang dimaksud dengan kemampuan menulis secara profesional adalah seorang akuntan yang bertugas mencatat segala transaksi yang terjadi disebuah perusahaan sesuai dengan PSAK (Pernyataan standart akuntansi keuangan), akuntan merupakan sarjana akuntansi yang telah memperoleh sertifikat profesi akuntansi. Ayat ini mendahulukan penyebutan adil dan diantara kamu daripada penyebutan pengetahuan yang diajarkan Allah. Ini dikarenakan keadilan, disamping menuntut adanya pengetahan bagi yang akan berlaku adil, juga karena seseorang yang adil tapi tidak mengetahui, keadilannya akan mendorong dia untuk belajar. Berbeda dengan yang mengetahui tapi tidak adil, ketika itu, pengetahuannya akan dia gunakan untuk menutupi ketidak adilannya. Ia akan mencri celah hukum untuk membenarkan penyelewengan dan mengindari sanksi. Selanjutnya, kepada para penulis diingatkan agar janganlah enggan menulisnya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarnya, maka hendaklah ia menulis. 
Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab diatas pundak penulis yang mampu, bahkan setiap orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan sesuatu sesuai kemampuannya. Walaupun pesan ayat ini dinilai banyak ulama sebagai anjuran, ia akan menjadi wajib jika tidak ada selainnya yang mampu dan, pada saat yang sama, jika hak dikhawatirkan akan terabaikan. Setelah menjelaskan hukum penulisan utang-piutang, penulis, kriteria dan tanggung jawabnya, dikemukakan tentang siapa yang mengimlakkan kandungan perjanjian, yakni dengan firman Allah: Dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan apa yng telah disepakati untuk ditulis. Mengapa yang berutang, bukan yang memberi utang? Karena dia dalam posisi lemah, jika yang memberi utang yang mengimlakan, bisa jadi suatu ketika yang berutang mengingkarinya. Dengan mengimlakakn utangnya sendiri, dan dihadapan pemberi hutang dan memberinya juga, tidak ada alasan untuk mengingkari, sambil mengimlakan segala sesuatu yang diperlukan untuk kejelasan transaksi, Allah mengingatkan yang berutang agar hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya. 
Setelah menjelaskan tentang penulisan, uraian selanjutnya akan membahas tentang persaksian, dalam hal tulis menulis ataupun lainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kamu. Kata saksi yang digunakan ayat ini adalah ( ين شهيد)syahidain bukan (هدين شا) syahidain. Ini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar-benar yang wajar serta telah dikenal kejujurannya sebagai saksi dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Dengan demikian, tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. 
Dua orang saksi dimaksud adalah saksi lelaki yang merupakan anggota masyarakat muslim. Atau kalau tidak ada, demikian tim departemen agama RI dan banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-atau kalau bukan-menurur M. Quraish Shihab, yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Saksi adalah sebuah kata benda dalam bahasa Indonesia yang berarti “orang yang melihat atau mengetahui” . 
Kata saksi dalam bahasa Arab adalah شاهد atau شهيد yaitu orang yang mengetahui yang menerangkan apa yang diketahuinya. Kata jamanya ialah اشهاد dan شهود Kata شهيد jamanya ialah شهداء Masdarnya adalah الشهادة yang artinya kabar yang pasti. Pengertian saksi adalah orang yang mempertanggungjawabkan, karena dia menyaksikan sesuatu (peristiwa) yang orang lain tidak menyaksikannya. Sedangkan kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di depan Pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain. 

Berbeda halnya dengan berbagai masalah yang berhubungan dengan urusan rumah tangga. Ingatan mereka terhada masalah terakhir ini boleh dibilang lebih kuat dibanding perhatian lelaki. Sebab, fitrah manusia akan selalu mengingat hal-hal yang berkaitan dengan urusan-urusannya, dan kesibukan wanita zaman sekarang bukan berarti merubah prinsip dari ketetapan hukum ini. Sebab, hukum ditentukan untuk umum dan mayoritas umat, jika ada, maka bilangannya sangat sedikit untuk setiap generasi . 

Menurut Syekh Ali Ahmad Al-Jurjani: "Laki-laki lebih banyak menggunakan pikiran dalam menimbang suatu masalah yang dihadapinya, sedang wanita lebih banyak menggunakan perasaannya. Karena itu wanita lebih lemah iradahnya, kurang banyak menggunakan pikirannya dalam masalah pelik, lebih-lebih apabila ia dalam keadaan benci dan marah, ia akan gembira atau sedih karena sesuatu hal yang kecil.
Selanjutnya Allah mengingatkan agar tidak bosan untuk menulis transaksi yang jumlahnya kecil, janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni termasuk batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, yakni penulisan utang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu, lebih adil di sisi Allah, yakni dalam pengetahuan-Nya dan daam kenyataan hidup, dan lebih dapat menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakan persaksian, serta lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan diantara kamu.[3]
D.     Asbabun nuzul ayat al baqarah ayat 282
            Pada waktu Rosulullah SAW datang kemadinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalamwaktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu rosul bersabda:”Barang siapa menyewakan (mengutangkan)sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangkawaktu yang tertentu pula”sehubungandengan itu allah swt menurunkan ayat 282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun muamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Hal mana untuk menjaga terjdinya sengketa pada waktu-waktu yang akan dating. (Hr. Bukhori dari Sofyan Bin Uyainah dari IbnuAbi Najih dari Abdillah bin Katsir dari Minhal dari ibnu Abbas). (A MudjabMahali.1989:136).[4]

E.      Inplementasi Ekonomi
Hampir tiap-tiap transaksi yang ada di dunia ini mengenal yang namanya hutang piutang, baik itu pada transaksi kelembagaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. Misalkan dalam suatu kelembagaan terdapat macam-macam transaksi yang mana semuanya mengenal istilah hutang piutang didalamnya; perbankan, koperasi, perusahaan, pemerintahan, dan lain-lain. Begitu pula aktivitas hutang piutang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari; antar saudara, antar tetangga, belanja di took, dan lain-lain. Seseorang mengenal hutang dikarenakan kebutuhan yang lebih banyak daripada suatu pendapatan yang didapatnya, sedangkan setiap orang dituntut memenuhi kehidupannya mau tidak mau harus terpenuhi.
Dengan hadirnya transaksi hutang piutang, terjadi banyak orang yang memanfaatkan hal tersebut untuk memeras pihak-pihak yang lagi membutuhkan keuangan. Padahal pada hakikatnya suatu transaksi hutang piutang adalah taawun (tolong menolong). Akan tetapi akad tolong menolong tersebut dipelintir menjadi suatu tambahan didalam pelunasan hutang, sampai akhirnya terjadi suatu tambahan tersebut yang mana dinamakan riba. Hal tersebut dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, baik kelembagaan maupun perorangan. [5]

BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Untuk memperoleh kenikmatan hidup dan manfaat dari harta dapat ditempuh jalan yang haram akan tetapi allah menetapkan jalan yang halal yaitu pinjam meminjam dan utang piutang tanpa bunga.
Ayat ini menerangkan bahwa dalam utang piutang atau transaksi yang tidak kontan hendaklah untuk dituliskan sehingga ketika ada perselisihan dapat dibuktikan.
Dalam kegiatan ini pula diwajibkan untuk ada dua orang saksi yang adil dan
tidak merugikan pihak manapun, saksi ini adalah orang yang menyaksikan proses
utang piutang secara langsung dan dari awal.
Dalam menuliskan utang piutang haruslah dngan jelas atas kesepakatan kedua belah pihak baik waktu dan jumlah utangnya. Bagi yang tidak punya kemampuan dalam mengutarakan keinginanya dapat diwakilkan kepada walinya. Keadaaan yang seperti ini diperbolehkan dengan syaradengan ketentuan tidak adanya salah satu pihak yang merasa dirugikan.

B.  SARAN
Sebagai seorang manusia tentulah mempunyai kelebihan dan kekurangan.  Dan juga, makalah ini masih jauh dari kata sempurna seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis masih memerlukan banyak masukan yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan makalah ini.












DAFTAR PUSTAKA

http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/280
http://yevinabella1707.blogspot.co.id/2013/12/usul-fiqh.html
http://kismawadi.blogspot.co.id/2012/06/pendahuluanal-quran-merupakan-petunjuk.html
https://suriyantinasutionumy.wordpress.com/2013/04/24/tafsir-qs-al-baqarah-282-utang-piutang/
http://ilmudanalquran.blogspot.co.id/2015/02/terjemah-tafsir-dan-analisa-ekonomi.html



[1] http://www.alquran-indonesia.com/web/quran/listings/details/2/280
[2] http://yevinabella1707.blogspot.co.id/2013/12/usul-fiqh.html
[3] http://kismawadi.blogspot.co.id/2012/06/pendahuluanal-quran-merupakan-petunjuk.html
[4]https://suriyantinasutionumy.wordpress.com/2013/04/24/tafsir-qs-al-baqarah-282-utang-piutang/
[5] http://ilmudanalquran.blogspot.co.id/2015/02/terjemah-tafsir-dan-analisa-ekonomi.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH STUDI AL-QUR’AN

Sejarah Berdirinya Pasantren (Dayah) Mudi Mesra